Seiring tingginya persebaran diaspora dan budaya Indonesia di dunia, berbagai titik di seluruh dunia bermunculan lokasi, monumen, atau bahkan taman-taman yang berkaitan dengan Indonesia. Melihat-lihat tentang Indonesia tanpa perlu ke Indonesia mungkin saat ini dapat dilakukan di berbagai tempat, atau mungkin bagi para wisatawan dari tanah air yang ingin menikmati Indonesia namun dengan suasana yang berbeda di luar negeri. Seperti di Australia, lebih tepatnya di Universitas Charles Darwin terdapat taman yang seluruh asetnya adalah tentang Indonesia yang bisa dikunjungi untuk melihat Indonesia namun dengan suasana Australia.
Taman yang diberi nama Indonesian Garden ini berada di Charles Darwin University (CDU), Darwin, Northern Territory, Australia. Adanya taman ini menunjukkan bahwa ibukota di wilayah paling utara Australia itu ingin komunitasnya terlibat dengan Indonesia. Taman tropis yang kental dengan suasana nusantara ini memang sudah terasa sejak pintu masuk Indonesian Garden, ada rumput hijau yang terpangkas rapi bak permadani, diseling dengan batu paving di tengahnya menuju ke pendopo kayu yang menjadi pusat taman itu. Bagian depan pendopo itu berhiaskan sepasang patung kayu ukiran Asmat. Di sekelilingnya, ada patung-patung seperti patung Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, patung burung Garuda, hingga patung kuningan Lembuswana. Begitu juga tanaman-tanaman tropis khas Indonesia yang tumbuh subur di kanan-kiri pendopo, mengitari patung-patung, baik itu tanaman keras, tanaman obat dan tanaman untuk memasak. Sebutlah tanaman famili jahe-jahean seperti lengkuas, tanaman kumis kucing hingga tanaman pandan wangi. Di bagian belakangnya, ada sekitar 10 bangku taman panjang dari kayu jati yang diukir. Di bagian tempat duduknya ada pelat besi berukuran 10x5 cm yang terukir nama-nama yang menyumbangkan kursi kayu itu seperti "Donated by Abdurazak Family", "Donated by Tom and Kathy Ganley". Tenang dan sejuk. Itulah kesan yang tertangkap saat duduk di bangku taman Indonesian Garden di tengah cuaca Darwin yang terik. Taman ini dimulai tahun 2005. Lokasi ini dulunya adalah taman bertema tropis yang terletak di depan gedung School of Creative Arts dan gedung rektorat. Namun kemudian akar pohon Banyan yang tumbuh besar di taman tersebut mengancam bangunan disekitarnya sehingga memaksa pohon tersebut dirobohkan. "Jadi di area ini dulunya taman yang bagian dari gedung sejak 1974. Akhir 1999 ada sepasang pohon besar yang miring ke arah gedung dan dikhawatirkan roboh," tutur dosen sejarah bidang sejarah Northern Australia dengan ASEAN, Dr Steven Farram. Sejak pohon Bayan tersebut dirobohkan, tanah di sana menjadi gersang. Maka beberapa pihak mengusulkan untuk dibangun taman bertema Indonesia di lokasi yang kosong itu. "Mungkin kita bisa bangun taman Indonesia, itu (ide) dari pengajar musik. Dan kemudian mulai kerjasama dengan departemen budaya, dan tentu bicara dengan Konjen (KJRI), mencoba berbicara dengan anggota komunitas Indonesia," tutur Farram. Projek pembangunan ini secara resmi dibangun tahun 2005 yang ditandai dengan peluncuran oleh Dr Herijanto Soeprapto, Direktur Jendral Hubungan Asia Pasifik dan Afrika, Kementrian Luar Negeri Indonesia saat itu. Secara bertahap, taman ini diisi dengan aset-aset khas Indonesia. Beberapa provinsi dan perusahaan kemudian menyumbang dekorasi taman. Sebut saja Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menyumbang patung kuningan "Lembuswana" yang didonasikan tahun 2011, Provinsi DI Yogyakarta mendonasikan patung perunggu dewi ilmu pengetahuan dan kreativitas "Saraswati" tahun 2009, dan patung "Garuda" oleh maskapai Garuda Indonesia tahun 2008. Pembangunan paling rumit adalah membangun pendopo kayu. Kayu-kayu itu dibentuk di Indonesia dan dirangkai di taman itu. Kebijakan karantina Australia yang sangat-sangat ketat membuat kayu-kayu itu sempat tertahan masuk ke Australia, belum lagi mendapatkan visa untuk para pekerja yang merakit kayu-kayu itu menjadi pendopo. Dalam situs CDU, perakitan pendopo kayu itu membutuhkan waktu sebulan oleh dua orang bersaudara bernama Denny dan Jantje dari Sulawesi. Akhirnya, pendopo dengan ukiran patung asmat di depannya itu berhasil berdiri tahun 2008. Taman kemudian diresmikan pada 10 Desember 2009 oleh administrator NT Tom Pauling dan Dubes RI untuk Australia Primo Aloei Joelianto. "Banyak komunitas Indonesia terlibat, pihak kampus sendiri sangat mendukung karena itu sangat berarti menjaga hubungan dengan komunitas Indonesia di sini. Saya mengajar bahasa dan sejarah Indonesia juga, dan tentu NT dan Aborigin, hubungan dengan Macassan (orang Makassar), dekat dengan Indonesia, jadi sangat masuk akal memiliki taman ini di CDU," jelas Farram. detik.com
댓글